MEDAN | TRANSPUBLIK.co.id – Bertalian dengan telah didaftarkannya Permohonan Praperadilan yang diajukan Pemohon Praperadilan Joao Pedro Da Silva Bastos melalui Kuasa Hukumnya di Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor : 42/Pid.Pra/2021/PN. Mdn, tanggal 12 Agustus 2021 dan Jadwal Pertama Persidangan Praperadilan telah dijadwalkan oleh Pengadilan Negeri Medan, Jum’at (27/8/2021).
Sehingga secara hukum ketika Termohon Praperadilan telah menerima Relaas Panggilan Sidang dari Pengadilan Negeri Medan, maka seyogyaNya semua tindakan atau Proses Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon dihentikan terlebih dahulu, guna menghormati Proses Hukum yang telah bergulir di Pengadilan Negeri Medan, akan tetapi Termohon Praperadilan dalam hal ini Penyidik PPA Polrestabes Medan tetap melakukan Proses Penyidikan dengan melakukan Penyitaan tangga di rumah Klient kami, pada hari Kamis, tanggal 26 Agustus 2021 seyogyaNya Penyidik PPA Polrestabes Medan menghormati Proses Hukum dan memberikan Contoh yang baik kepada masyarakat luas dan tidak dengan cara-cara Arogansi, ungkap Kuasa Hukum Pemohon Praperadilan M. Sa’i Rangkuti, SH,. MH yang didampingi oleh Rahmad Makmur, SH.,MH, Rizky Fatimantara Pulungan, SH, Muhammad Ilham, SH, Imam Munawir Siregar, SH, Anggi Puspita Sari Nasution, SH, Adhe Munita Nasution, SH dan Putri Fahmina Nasution, SH;.
Pemohon Praperadilan mengajukan Permohonan Praperadilan berdasarkan dengan adaNya Penetapan Status Tersangka Pemohon, berdasarkan adaNya Laporan Polisi Nomor : LP/2515/X/2020/SPKT Restabes Medan, tanggal 09 Oktober 2020, An. Pelapor : SRI WAHYUNI jo Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP-Sidik/2320/X/Res. 1.6/ 2020/Reskrim, tanggal 30 Oktober 2020 jo Surat Perintah Penyidikan Lanjutan Nomor : SP. Sidik/553/IV/Res. 1.6/2021/Reskrim, tanggal 06 April 2021, bahwa bertalian dengan hal tersebut Pemohon Praperadilan benar telah ditetapkan sebagai Tersangka atas Dugaan Tindak Pidana ”Kekerasan Fisik Dalam Rumah Tangga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP/2515/X/2020/SPKT Restabes Medan, tanggal 09 Oktober 2020”;.
Bertalian dengan hal tersebut, Pemohon Praperadilan dengan Iktikat Baik, telah melakukan Perdamaian, apalagi saat itu masih mempunyai Status Suami yang Sah dan saat itu atas Laporan Polisi tersebut telah dibuat ”SURAT PERDAMAIAN” antara Pemohon Praperadilan dengan SRI WAHYUNI tersebut, selanjutNya SRI WAHYUNI selaku Pelapor tepatNya pada tanggal 21 November 2020 juga telah mengajukan ”PERMOHONAN PENCABUTAN PENGADUAN” yang ditujukan kepada Termohon Praperadillan, bahwa dengan adaNya Surat Perdamaian dan Surat Permohonan Pencabutan Pengaduan dari Pelapor SRI WAHYUNI, masing-masing tanggal 21 November 2020, maka Pemohon Praperadilan juga melalui Kuasa HukumNya mengajukan Permohonan Penghentian Penyidikan yang disampaikan kepada Termohon Praperadilan.
Sebagaimana Surat Permohonan Penghentian Penyidikan, tanggal 28 April 2021, bahwa bertalian dengan Ketentuan dan Lahirnya Undang-undang Nomor : 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan tetap merujuk kepada Ketentuan Pasal 44 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004 tersebut, maka Pemohon Praperadilan mempunyai alasan hukum, melalui Perantaraan Surat Permohonan, tanggal 28 April 2021 untuk meminta kepada Termohon Praperadilan agar kiraNya dapat menghentikan Penyidikan tersebut, karena hal tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang dan Pasal tersebut merupakan ”Delik Aduan” (klacht delicten);.
Bila merujuk kepada telah adanya Perdamaian atau Kesepakatan yang dibuat oleh Pemohon Praperadilan dengan Pelapor Sri Wahyuni, maka antara Pemohon Praperadilan dengan Pelapor Sri Wahyuni telah terikat dengan Pasal 1320 KUH Perdata, yang mana merujuk kepada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) B.W., yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, sehingga tidak bisa para pihak membatalkanNya secara sepihak tanpa ada persetujuan Pihak lain, kecuali dengan adaNya Gugatan Perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incracht van gewijde) yang membatalkan Perdamaian tersebut, seyogyaNya Termohon Praperadilan Paham dan Mengerti tentang hal ini, maka kita akan uji melalui Praperadilan,” ungkap M. Sa’i Rangkuti;.
Di satu sisi M. Sa’i Rangkuti menyampaikan dengan adanya Praperadilan ini bukanlah bentuk sebagai Permusuhan atas sikap Termohon Praperadilan akan tetapi disinilah kita menguji Proses Hukum yang telah dilakukan oleh Termohon Praperadilan benar atau tidak atau setidak-tidaknya Termohon Praperadilan jangan memihak kepada Pelapor, apalagi melanjutkan Perkara setelah 5 bulan lamanya terhenti sejak adanya Perdamaian pada tanggal 21 November 2020.
Dan akan tetapi setelah adanya Pencabutan Perdamaian secara sepihak oleh Pelapor Sri Wahyuni, tanggal 5 April 2021 terkesan Perkara tersebut Hidup Lagi, seyogyaNya perkara tersebut patut dan pantas untuk dibuatnya dihentikanNya Penyidikan, maka ketika Pelapor Sri Wahyuni membuat Pencabutan Perdamaian tersebut secara sepihak, maka patut dan pantas perbuatan Pelapor Sri Wahyuni telah melakukan Ingkar Janji (Wan Prestasi) terhadap Pemohon Praperadilan Joao Pedro Da Silva Bastos, dan atas perbuatan Pelapor Sri Wahyuni tersebut Joao Pedro Da Silva Bastos telah melakukan Gugatan Perdata;.
Pemohon Praperadilan mengajukan Bukti-bukti tertulis
Bertalian dengan hal tersebut Pemohon Praperadilan mengajukan Bukti-Bukti tertulis P-1 s/d P-46 dengan manghadirkan Saksi-saksi yaitu Drs. Otto Budiman H Sihotang, Ak, Jon Aldo Situmeang, ST dan T. Rahmad Syah Zulad, yang dilaksanakan pada Hari Kamis, 09 September 2021 dan selanjutNya Pemohon Praperadilan pada Hari Jum’at, tanggal 10 September 2021 telah menghadirkan Saksi Ahli dari Universitas Pembangunan Panca Budi Medan (UNPAB) Dr. Muhammad Arif Sahlepi, SH., M. Hum, yang mana menurut pendapat Ahli Bahwa:
– Ahli Jelaskan bahwa Delik Aduan adalah Tindak Pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada Penguan dari orang yang dirugikan atau Lex Spesialist, sedangkan Delik Biasa adalah suatu tindak pidana, yang dapat dituntut tanpa adanya suatu pengaduan dari korban;.
– Ahli Jelaskan bahwa mengenai Kekerasan Fisik yang terdapat Pasal 44 ayat (4) merupakan Delik Aduan, dasar hukumnya adalah bunyi dari Pasal 51 UU R.I No. 23 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa: Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan. Maka dari itu delik aduan adalah delik yang hanya dapat diproses apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau telah menjadi korban.
Jadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai delik aduan maka sanksi pidana merupakan upaya terakhir (ultimatum remedium), apabila terjadi perdamaian maka perkara akan dicabut dan ke-utuhan keluarga tetap terjaga, dikarenakan ada faktor anak yang harus kita pikirkan dalam membina keutuhan rumah tangga;
– Menurut Ahli, Apakah perdamaian yang dibuat oleh Pelaku dan Korban dalam dugaan Tindak Pidana Kekerasan Fisik sebagaimana dimaksud Dalam Pasal 44 ayat (4) UU R.I No.34 tahun 2004 tentang PKDRT Perkara Pidananya dapat dihentikan di Tingkat Penyidikan?
Jawab:
Menurut Ahli kalau sudah terjadi Perdamaian antara Pelaku dan Korban dan tertuang dalam perjanjian perdamaian secara Tertulis, dan telah memenuhi apa yang menjadi kesepakatan dalam perjanjian tersebut maka Perkara Pidana mengenai PKDRT tersebut dicabut oleh Pelapor dan Konsekwensi hukumnya menutup perkara begitu dicapai perdamaian.
Maka dari itu Ahli berpendapat: Bahwa dalam Penegakan Hukum Pidana adalah mencari kebenaran materiel, bukan kebenaran formiel ataupun kebenaran diatas kertas, karena itu pembuktian dalam hukum pidana harus dan jauh lebih hati-hati dibanding dengan pembuktian dalam hukum perdata;
Dengan demikian menghukum orang bersalah dalam hukum pidana harus benar-benar telah didukung dengan sekurang-kurangnya dua (2) alat bukti yang sah di tambah dengan keyakinan hakim (Pasal 183 KUHAP) dan yang bukan didapat karena ada tekanan penguasa atau masyarakat.
– Coba Sdr. Ahli Jelaskan Maksud dari Penetapan Tersangka yg dilakukan oleh Penyidik menjadi Objek Pra-Peradilan ?
Jawab:
Dapat Ahli Jelaskan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 menambahkan objek praperadilan dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP mengenai Pra- Peradilan, sehingga objek praperadilan diperluas, yaitu termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, sah atau tidaknya penggeledahan, dan sah atau tidaknya penyitaan. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah dengan adanya perluasan objek praperadilan tersebut apakah mencerminkan keadilan, kepastian serta kemanfaatan atau malah sebaliknya mencerminkan ketidakadilan, ketidakpastian serta tidak bermanfaat. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi memutuskan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dengan alasan bahwa:
(1) Untuk melindungi setiap warga negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang dapat merugikan hak setiap individu warga negara;
(2) Bentuk pengawasan dan mekanisme kontrol terhadap proses pengakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia;
(3) Penyeimbang dalam hal adanya benturan antara hak-hak individu dengan kekuasaan negara.
– Menurut AHLI Apakah Perdamaian yang telah disepakati dan oleh Kedua Belah Pihak (Pihak Pertama/Korban dan Pihak Kedua/Pelaku) dalam Tindak Pidana Kekerasan Fisik sebagaimana termaktub dalam Pasal 44 UU R.I No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dapat dihentikan Penyidikannya?
Jawab:
Menurut Ahli apabila Adendum / isi dari Perjanjian Perdamaian telah disepakati/telah terlaksana, maka Pelapor biasanya mencabut Laporan Pengaduannya, dan Pihak Penyidik harus konsekwen untuk menutup perkaranya dan tidak melanjutkan proses penyidikan tersebut sebagaimana yang telah disepakati dalam Perjanjian Perdamaian tersebut.
Biasanya dalam Kasus PKDRT AHLI berpendapat: Mediasi penal merupakan jalan tengah atas dua permasalahan tersebut. Dengan mediasi penal maka pola-pola penyelesaian masalah dalam rumah tangga (PKDRT) yang telah berlangsung dalam masyarakat tetap dapat dilakukan. Tetapi penyelesaian masalah tersebut berada dalam konstruksi hukum negara yang pengaturannya diatur dengan undang-undang. Pelaku tetap dapat diberikan tindakan sesuai dengan hal yang disepakati dalam mediasi, dan diperkuat dengan putusan hakim. Sementara korban tetap mendapat perlindungan dan atau kompensasi atas apa yang terjadi padanya.
Mediasi penal dapat dikatakan sebagai upaya pembaharuan hukum pidana yang mendukung ide individualisasi pidana. Individualisasi pidana merupakan pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) yang Menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggung jawab atau kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas sosial.
Jadi Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan, yakni melalui berbagai “Diskresi” aparat penegak hukum (KEPOLISIAN) atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian.
Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara Khususnya di INDONESIA, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana, seperti penyelesaian kasus yang berkaitan dengan tindak pidana KDRT.
Maka dari Itu AHLI berpendapat Bahwa Penyelesaian Kasus PKDRT ini hendaky diselesaikan di Secara Mediasi Penal, kalaupun Tidak mendapat titik temu (KESEPAKATAN) Hendaknya Aparat Penegak Hukum (Kepolisian) Melakukan “Diskresi” terhadap Kasus PKDRT tersebut, dikarenakan menjadi ‘Aib terhadap dirinya, dan lebih memikirkan Dampaknya terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, Dan yang terpenting adalah agar para pihak yang berkonflik (korban dan pelaku) dapat bersatu kembali memperbaiki kondisi yang rusak. Tentu hal ini bisa dilakukan terhadap tindak pidana KDRT yang sifatnya ringan dan tawaran mediasi penal oleh penyidik bagi para pihak bersifat sukarela.
Jadi AHLI disini menyinggung Adagium Hukum yang berbunyi:
“Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah” artinya jangan sampai orang tidak bersalah menjadi terhukum, maka dari itu Tidak lah boleh seseorang dijatuhi hukuman apabila dia tidak melakukan Kesalahan (Geen straf zonder shuld); Tiada Pidana tanpa ada Kesalahan, maka dari itu proses penegakan hukum di Indonesia tidak lagi mampu menjadi pengayom yang bisa memberikan keadilan bagi semua pihak.
Hal tersebut dianalogikan, “Bahwa manakala negara hukum diibaratkan sebagai sebatang pohon yang rindang dan indah, maka pengadilan adalah akarnya. Akar itulah yang menopang bagi tegak dan tumbuh suburnya pohon negara hukum. Jika pengadilan sebagai pilar utama dari Sistem hukum rapuh, maka tumbanglah pohon negara hukum itu.”
“Semoga berdasarkan Fakta-Fakta yang telah terungkap di depan Persidangan dengan mengajukan Bukti-Bukti tertulis P-1 s/d P-46, Menghadirkan 3 (tiga) orang saksi Fakta dan 1 (satu) Saksi Ahli, kami selaku Kuasa Hukum Pemohon Praperadilan M. Sa’i Rangkuti, SH,. MH yang didampingi oleh Rahmad Makmur, SH.,MH, Rizky Fatimantara Pulungan, SH, Muhammad Ilham, SH, Imam Munawir Siregar, SH, Anggi Puspita Sari Nasution, SH, Adhe Munita Nasution, SH dan Putri Fahmina Nasution, SH, berkeyakinan semoga Pemohon Praperadilan kami dapat dikabulkan oleh Yang Mulia Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Medan, yang Putusan Praperadilan akan dibacakan Hari Senin, tanggal 13 September 2021,” ungkap M. Sa’i Rangkuti, SH, MH.
(TP/ES/JP)
Komentar