Penulis: Arta Uli Situmorang/Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
MEDAN – Kejaksaan sama halnya dengan aparat penegak hukum lainnya, baik dalam hal kualitas sebagai objek pembangunan maupun sebagai subjek yang berkarya dan mengarahkan hasil prakteknya di bidang praktek hukum. Pasti dan harus melaksanakan sesuai dengan tugas pokok kejaksaan yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (RI).
Dengan demikian, maka di samping pengetahuan seorang jaksa terhadap “hukum.” Kewenangan baru kejaksaan atau jaksa muncul dengan lahirnya Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang No. 8 Tahun 2010, yang mana dalam Pasal 74 menegaskan “penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan praturan perundang-undangan ini.”
Yang dimakud penjelasan Pasal 74 ini yakni memberikan penegasan dengan dimaksud pidana asal adalah pejabat atau instansi yang oleh Undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direkorat Jendral Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan RI.
Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangan. Permasalahan yang yuridis pun muncul, ketika Kejaksaan dan jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang didalamnya ditemukan bukti yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang.
Namun, waktu terjadinya tindak pidana pencucian uang adalah sebelum lahirnya undang-undang tindak pidana pencucian uang 2012, karena BAB XII “Ketentuan Peralihan” Pasal 95 menegaskan tindak pidana yang dilakukan sebelum berlakunya undang-undang ini, diperiksa dan diputus dengan Undang-undang nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Frase “diperiksa dan diputus” dalam ketentuan peralihan tersebut, di dalamnya mengandung maksud baik mengenai hukum material maupun hukum formilnya. Oleh karena itu dari segi sudut pandang dapat dikatakan bahwa kejaksaan atau jaksa berwenang melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang terjadi sebelum lahirnya Undang-undang tindak pidana pencucian uang Tahun 2010.
Karena Undang-undang yang lama belum mengatur mengenai kewenangan kejaksaan terkait penyidik tersebut, yang semata-mata mendasarkan pada teks yang tertulis dalam rumusan Undang-undang biaanya digunakan tersangka/terdakwa untuk menghentikan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh kejaksaan.
Argument hukum yang berdasarkan pada konsepsi hukum material karena yang dibahas adalah jenis deliknya secara praktek telah dijadikan dasar kejaksaan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Argument yang berdasarkan tindak pidananya saja (hukum pidana material) akan bertentangan dengan asas legalitas sebagaimana dimaksud dengan pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”, yaitu hukum acara pidana pada saat itu dilakukan tindakan hukum acara, sedangkan tindak pidana sendiri dihukum berdasarkan hukum material yang dapat saat tindak pidana itu dilakukan.
Dan asas hukum transistoir sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Bilamana perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan keuntungan yang paling menguntungkan.”
(TP/AS)
Komentar